7 Jam di bawah rintik hujan II: Y A T A M A

Ku  lanjutkan apa yang sempat kutulis sebelumnya: 7 Jam di Bawah Rintik Hujan. Kutulis bagian ke-II ini di hari ke-7-9 setelah perjumpaan, muda-mudahan dapat kutuangkan meskipun sebagian kecil dari pembahasan saat itu. Serius, sebagai seorang yang gampang lupa (bukan sengaja melupakan, ya… ), “mudah-mudahan” ini berarti banget buatku. 


Bukan bab makan. Biarlah bab makan sampai di situ, heu-heu.  Pada bagian ke-II aku menuliskan pembahasan GusWong yang menceritakan satu peristiwa perjumpaan anak yatim dengan Al-Musthafa di hari kemenangan. Peristiwa itu, mungkin saja masyhur di sebagian kalangan. Peristiwa yang dapat diikuti untuk sedianya mengasihi anak yatim, memberi perlindungan kepadanya, mengerti akan kebutuhan dan hajat hidupnya — baik yang bersifat material maupun emosional. 


Kala itu, seusai sholat Ied, Rasulullah Saw menghampiri "Si Kecil" malang yang penuh nestapa, murung, dengan pakaian yang lusuh, bau, dekil, dan ingus yang bercampur air mata yang jatuh melewati bibirnya, juga, mungkin tidak luput dari tangkapan visual. Ditanya lah ia oleh Rasul prihal kepiluannya.  Si Kecil yang ayahnya meninggal di medan perang bersama Rasul. Ibunya sudah bersuami lagi meninggalkan Si Kecil dan mengangkut seluruh banda dunianya tanpa menyisihkan sebagiannya untuk Si Kecil kecuali penderitaan. Teman sebaya lainnya berpakaian rapi, baru, harum, sedang ia bertolak belakang dari semuanya. Lalu ia menjawab dengan wajah yang masih merunduk lesu dengan menceritakan keadaannya dan kejadian yang dialaminya.


Setelah mendengarkan isi hatinya, Rasul menawarkan satu tawaran yang membuat iri teman sebayanya, bahkan sampai mengandaikan agar berada di posisi yang sama dengan Si Kecil, menjadi seorang yatim. Rasul menawarinya menjadi bagian dari keluarga Rasulullah Saw, Sayidah Fathimah, Sayidina Hasan, Sayidina Husen. Tentu, Si Kecil dengan gembira yang nyata meruntuhkan tebing pilu dan derita, seketika. Dikenakan padanya sandang yang pantas dan layak, harum, bersih, suci, dengan pesona yang merona, gembira, bermakna. Dengan penuh seri kemudian ia menjumpai sebayanya, menceritakan peristiwa besarnya yang baru saja dialaminya itu kepada sebayanya. Dan, ya, saat itu lah sebayanya berkeluh "Kalau gitu, lebih baik aku nda punya ayah". 


Ini merupakan peristiwa yang akan dilihat sebagai kejadian sosial yang akan selalu relevan dalam kehidupan-kehidupan yang akan datang. Sebagai tuntunan bagi manusia untuk selalu berada di antara  yatim. 


Namun malam itu GusWong menyuguhkan pandangan lain dalam melihat peristiwa itu. Dan ini yang menarik (ya, lagi, setidaknya bagiku). Beliau menyuguhkan kami satu pandangan sebagai upaya menyingkap lapisan demi lapisan ke-ma'rifatan (baca: weruh) dari peristiwa perjumpaan anak yatim itu dengan Rasulullah Saw. Peristiwa yang sepatutnya tidak hanya dilihat sebagai fenomena sosial, tapi juga sebagai gambaran ketauhidan yang sangat epik. Peristiwa yang semestinya tidak hanya dilihat sebagai pelajaran untuk berbagi kepada yang membutuhkan, kepada yang lemah, kepada yang dianggap termarjinalkan oleh lingkungan. Peristiwa yang seharusnya juga dlihat sebagai bahan refleksi untuk — sekali lagi — mengerti kedudukan manusia sebagai ciptaan. 


Din Sudiro

10 Oktober 2021

Komentar