Catatan ini dibuat hari ini, Sabtu 02 Oktober 2021 sebagai pengingat sekaligus bukti untuk peristiwa yang pantas diabadikan serta disaksikan oleh khalayak ramai tentang perjumpaan manusia yang diliputi kefaqiran dengan "Wong (baca: Manusia)".
Malam itu, hari Jum'at sekitar pukul 15.30, bersama ketua Lesbumi Rumpin kami berangkat ke kediaman Kyai Abdullah Wong (Gus Wong) — seorang Budayawan, Sastrawan, Esais, Novelis, yang (tidak) kebetulan juga ber-laku sebagai Pengurus Lesbumi PBNU. Tanpa perencanaan dengan segala topik dan pembahasan yang dipetakan, kami menjumpai beliau. Begitu adanya, toh ini memang bukan agenda seremonial yang menyaratkan itu. Dan memang, kedatangan kami pun tanpa ada pemberitahuan sebelumnya ke Beliau. "Assalamualaikum, Kyai.." begitu Mas Hafidz (orang yang mengantarkan kami) menyapa Gus Wong dengan aksen Jawa-nya yang masih cukup kental. Mas Hafidz memperkenalkan kami kepada Gus Wong "Ini ada temen-temen dari Lesbumi Rumpin..."
Setelah melewati beberapa rangkaian kegiatan" ke-maghrib-an". Kami dipersilakan menghadap. Beliau menanyakan hal-hal teknis dan juga kemudian menjelaskan hal-hal ringan. Begitu juga dengan kami sebaliknya. Ya, kami menyampaikan ke-Lesbumi-an Rumpin seperti produksi-distribusi musik digital, silat Rumpin, yang aktifitasnya sudah mulai berjalan. Semuanya berjalan lancar dan normal-normal saja. Tapi "kenormalan" itu mulai tereduksi dengan mulai tersusunnya seperangkat alat dan bahan santapan setengah malam — piring, kokobok, sambal, nasi, lalap timun, dan... bebek (pastinya udah mateng, ya) — di tengah-tengah "persila"an kami ini. Bagaimana tidak, daging bebeknya empuk, ditambah sambel Madura-nya, yang... ehem, suedep. Karena ternyata malam Sabtu itu jadwal pengajian tafsir Al-Qur'an, Mas Hafidz meminta kami agar sesekali mengikuti pengajian. Agak berat, memang. Bukan karena enggan mengikuti pengajiannya, tapi karna jarak perjalanan ke Rumpin itu cukup jauh. Tapi, yasudah, lah. Lagipula, apa yang khawatirkan oleh seorang freelancer, heu-heu.
Al-Baqarah ayat 170. Ya, surat Al-Baqarah ayat 170 pembahasan malam itu. Hanya satu ayat, ya, ayat 170. Gus Wong membawakan pembahasan ayat ini dengan 3 referensi kitab yang kesemuanya merupakan tafsir sufistik. Beliau juga mengutip beberapa riwayat dan kejadian historis sebagai pelengkap pembahasan tafsir malam itu. Dengan gayanya bicara yang "friendly", intonasi nada yang kadang ber-ala-ala "millenial", ditambah kerap kali menggunakan kosakata Inggris — seperti cara pembawaan Ihya Ulumuddin dan Miskatul Anwar oleh Gus Ulil Abshar Abdalla — menjadikan pembahasan tafsir Al-Qur'an ini sangat... "berkemajuan" banget, heu-heu.
Banyak hal menarik di pembahasan malam itu, tentu. Salah satu yang menarik adalah pada pembahasan bab-bab makan, ya, bab makan. Lagipula, makan merupakan "terms" yang sangat inklusif, dan tidak mengenal stratifikasi sosial, semuanya butuh makan, semuanya. Dan makan, tutur beliau, adalah ritual sakral yang harus dilihat tidak hanya sebatas aktifitas sederhana dan singkat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis semata, sehingga dengan makan dapat beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan lainnya — kebutuhan akan cinta, aman, nyaman, eksistensi. Namun, sepatutnya juga dilihat sebagai satu ritual yang dapat merefleksikan rangkaian peristiwa-peristiwa yang besar yang terjadi sebelum unsur-unsur dalam makanan itu dapat dikonsumsi secara layak: harapan, air mata, do'anya para petani, tengkulak, pedagang, ya, reseller juga. Dengan begitu, harapannya adalah kita dapat menyingkap perwujudan ke-illah-an, dapat musyahadah dengan Rahmah-Nya, dengan-Nya. Sehingga kita, sebagai hamba yang tidak tau diri ini, sadar, dan ngerti kedudukan ke-hambaan kita sebagai, dan pada konteks sosial, kita dapat menaruh hormat (menghargai) kepada apapun diluar diri sendiri.
Rumpin, 02 Oktober 2021
Din Sudiro
Komentar
Posting Komentar