Pengharapan yang nyata

 "Commuter line tujuan manggarai sampai dengan stasiun angke segera melintas di jalur 2.", Begitulah kalimat yang muncul dari pengeras suara di stasiun tebet saat aku hendak menuju salah satu rumah sakit di Jakarta Barat. Tidak ada yang berbeda suasana di stasiun KRL Jabodetabek. Mulai dari penjual masker eceran, petugas scurity yang mundar mandir dengan seragam khas yang dikenakannya, penumpang yang pura-pura tidur agar bisa tetap duduk, dan tentu kalian tau apa yang paling terkenal dari KRL ?. Ya, berdesak-desakan di waktu-waktu tertentu.

Satu jam waktu yang kuhabisan dalam kereta sampai di Rumah sakit yang ku tuju. Namun jika menggunakan ojol atau taksi mungkin hanya membutuhkan waktu 30 menit. Ya, tentu sebelum jam 8 pagi. Dalam kereta itu yang bisa kulakukan hanya menolehkan kepalaku ke arah yang saling berlawanan. Dengan berdiri tegak lurus di depan pintu aku memandang kearah luar, kemudian terdengar suara yang patah patah seperti radio sedang mencari sinyal frekuensi namun nggateli, "Apa yang bisa dilakukan... di stasiun kereta... selain menunggu?, Iya menunggu kamu.". Serentak ingatku pada bait lagu yang populer karena ada suara badaknya, eh.. gagaknya, ya, "Entah apa yang merasukimu." pikirku.

Setiba di rumah sakit, aku di hadapkan dengan pemandangan pasien beserta beberapa kerabat dan anggota keluarganya sedang duduk di kursi tunggu yang menghadap ruang poli. Aku memandang mereka, mencoba membaca apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan wajah-wajah yang sudah usang sedari tadi menanti antrian administrasi, sebagian menanti antrian pemeriksaan dokter diruangannya. Saat itu pukul 9 tiga puluh. Kuperkenalkan diriku secara singkat, ku tanyakan asal dan tujuan poli pemeriksaan, dengan siapa ia datang, bukankah begitu biasanya yang terjadi di awal perbincangan dengan orang yang pertama kali bertemu, bukan?. kemudian aku menanyakan sesuatu yang dasar sekali, "Sudah menunggu berapa lama pak?." Terlihat dahi yang sedikit mengkerut sambil menghela nafas, tatapannya kosong ke arah pintu ruangan dokter orang itu menjawab, "Ya, belum lama, baru saja dua jam." 

Berdasarkan jadwal yang tertera di laman rumah sakit seharusnya dokter sudah ada sejak pukul 8, saat dikonfirmasi, orang itu mengatakan bahwa dokter baru saja datang setengah jam yang lalu. "Sudah biasa mas, saya rutin control di rumah sakit ini kondisinya seperti ini, sudah biasa." Katanya. Sedangkan yang lainnya ada yang berkata, dan kata-katanya menggambarkan sedikit gerutu namun tetap mencoba tersenyum, "Bagaimana perasaannya seorang pria tua, menunggu lama kehadiran sang dokter", kemudian sambil menunjuk ke kerumunan orang itu meneruskan "Ya, bagaimana pun perasaannya, kami mencoba mengatasinya dengan lapang dada.".

Sedikit banyak, aku tau seberapa besar upaya pihak rumah sakit mengatasi hal seperti ini, yang terlihat sederhana namun rumit. Aku tau itu karena aku ada didalam. Lantas apa kemudian aku melakukan pembelaan untuk pihak rumah sakit?, Tidak. Atau berlaga membela orang tua itu kemudian mencela pihak rumah sakit?, Juga tidak. Namun darinya aku mencoba memastikan diriku sendiri agar tidak menyepelekan pengharapan orang lain. Sambil ku tatap mata yang penuh harapan itu, ku sampaikan, "Ya, keadaan seperti ini bukanlah hal baru, bukan hanya berlaku di tempat ini, bukan pula hanya ada di Indonesia. Berapa banyak pihak juga sudah mencoba mengatasinya dengan berbagai cara. Dan ini terus berlangsung, semoga kedepannya semakin baik." Terimakasih telah bersikap bijak

Komentar