Ocehan guru magang

Motor jadul itu dibawanya dengan kecepatan maksimal 40 km/jam sambil memperhatikan bahu jalan seperti orang sedang main petak umpet. Sulap kanan Salip kiri diiringi klakson angkutan kota yang menyerupai suara “om telolet om!”, karena was-was jika ada operasi zemba, dimana tilang motor lebih menakutkan daripada begal-katanya. Malam itu kuntu bersama sahabat yang lainnya mengunjungi rumah sahabatnya yang berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah élit di Bogor. 

Setiba dirumah Pak Guru, seperti biasa tuan rumah menyuguhi mereka dengan kopi liong yang baru saja diseduh. Aroma dan citarasanya begitu khas dan uwenak sekali, “Cakep, nikmat, mantap…” kata kuntu setelah menyeruput kopi yang masih panas itu. Tak lama dua sahabatnya menyusul ikut nimbrung menghabiskan suguhan yang ada. 

Pak guru dan sahabatnya yang baru saja datang asik mendiskusikan “Nasib Bangsa dan Negara” di dunia pendidikan. “Peran Guru itu sebenernya bukan pemberi (penyampai) ilmu, melainkan peran Guru itu sebagai fasilitator” Kata Pak Guru. Kata fasilitator membuat kuntu ingin ikut nimbrung namun karena pak guru dan sahabatnya itu nampak serius seakan “sedang sholat, tidak bisa diganggu” sehingga kuntu hanya bisa mendengarkan pembicaraan mereka. 

Kuntu, anak muda yang suka keluyuran malam itu sempat jadi “Guru magang” di lembaga pendidikan di dua provinsi. sekalipun pengalamannya sebagai guru magang tidak ada artinya, namun karena kenalannya itu seorang yang fāqihu fī Ad-dīn,  membuat dia terkadang punya “contekan” untuk ikut bersuara manakala ada perbincangan seperti ini. 

”Ini perlu di klarifikasi, Seorang Guru itu kan punya peran yang sangat penting dan strategis dalam pengembangan sumber daya manusia secara universal, dan menjadi tolak ukur nasib seseorang dimasa mendatang, baik dari segi lahir, batin maupun ruhaninya”, Kata Kuntu dalam hati.

“Hoalah….. berat sekali yo, sampai batin dan ruhani segala” Sahut sohibnya dalam hati juga.

“Lha wong tugas berat Guru ini kok kemudian dikata peran guru sebenarnya hanya sebagai fasilitator, ibarat seorang designer yang tugasnya buat Master Plan kok nganggep kerjanya sebatas nyiapin kursi buat tamu, atau tukang yang nyiapin podium saat narasumber hendak pidato. Ini kan yang kita fahami arti dari “fasilitator”. Mbok yo jangan mempersempit peran Guru toh…” Lanjut kuntu.  

“sampean ini nda up-to-date, tukang keluyuran mana faham istilah pendidikan modern”, Kata yang lainnya dalam hati juga.

“Memang apapun istilah yang digunakan dalam penamaan diri seseorang sebagai “Guru” bukanlah perkara penting bukan pula perkara substantif. Seorang guru yang menyebut dirinya sebagai “temannya murid” ya silahkan, atau sebagai “pengembala” ya silahkan, atau apalah itu namanya. Namun jika tidak didasari pada kesadaran dan kepekaan terhadap dirinya sendiri sebagai Guru, maka dengannya dikhawatirkan seorang guru lupa terhadap tugas utamanya. Sehingga betul-betul bertugas sesuai penamaannya. Dan output-nya akan beranggapan bahwa kesuksesan proses pendidikan terletak hanya pada kecerdasan akal dan keterampilan saja karena menganggap dirinya hanya sebagai fasilitator dan Ini kan dangkal sekali.” Pungkasnya.

“Bahasamu mbulet cak…” kata sahabatnya yang sedang main gim.

“kun, jangan negative thinking, sampean nganggep Pak Guru kita itu lupa akan tugas utamanya sebagai guru?”, Tanya salah satu sahabatnya itu.

“ya nda gitu, ini kan cuma ngungkapin isi hati saja, sampean ya jangan provokasi dong hahah…..”

“Masalahnya ini udah malem, gorengannya udah abis, kopi juga udah dingin. Tugas kita sebagai tamu udah selesai. Ayo pulang….” Kata yang lainnya sambil berjalan.

Komentar