saat salah satu “petinggi” sunda empire manggung di program acaranya Uda Karni Ilyas Indonesia Lawyer Club (ILC) dan memaparkan tentang kekaisaran sunda versinya mengingatkanku pada sosok “jendral” lokal domisili Malang.
Namanya, biasa warga memanggilnya Wak Ngari. Menurut kesaksian warga, doi sosok yang ulet, rajin dan pintar membaca kitab kuning dan sempat berjualan bakso. Sebelum doi menisbatkan dirinya sebagai “Jendral Ngari” Sang anak alm Eyang Habibi-katanya.
Bagaimana tidak, Jendral ngari dikenal sebagai sosok yang pakar dalam ilmu Cocokologi, sangat religious nan nasionalis. Singkatan kata apapun yang ditanyakan kepadanya bisa dijawab dengan santuy tanpa kendala apapun. Terlebih yang berkaitan dengan kenegaraan, hebat bukan heuheu…..
Saat itu menjelang pertengahan malam, saat rutinitas jama’ah sholat malam tengah dilaksanakan dan dipimpin langsung oleh KH Muzaki Nur Salim. Aku bersama rekan-rekanku berjaga malam dipelataran Masjid KH Nur Salim Jabung (saat itu masih tahap pembangunan). Ditengah obrolan dengan suara sedikit berbisik terdengar suara langkah kaki yang sedang menghampiri kami dengan sebatang rokok terhimpit diantara jari jelunjuk dan jari tengah kemudian duduklah dia.
Biasanya, kedatangannya membawa suasana yang memaksa kami menahan tawa. Setelah disuguhkan secangkir kopi yang sudah mendingin sedari tadi dan sedikit basa basi, doi tiba tiba melontarkan pertanyaan yang agak menganehkan, “Cak, Sampean tau sukét a..?” tanyanya.
“Nggeh, yang dinyanyikan Via Valen dan Nella Kharisma itu kan”
“Ngawur sampean…, bukan lagu cak, suket yang dia tumbuh sendiri tanpa ditanam itu loh”
“haha…., Nggeh, kenapa kok tiba-tiba nanya suket?”
“Lha iya bahwa dalam sebuah pendidikan baik itu Universitas, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menangah Kejurusan, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Dasar dihadapkan pada dua sisi, bodoh dan pintar. Analogi rumput, kebodohan bukanlah anomena melainkan fenomena yang tanpa diusahakan sebagai “bodoh-isasi” maupun “bodoh-isme”, kebodohan akan selalu tumbuh dan muncul dengan sendirinya sekalipun tanpa ada yang menanamnya.
“Lanjut Wak Ngari….”, Celetuk salah satu dari kami ditambah suara seruput kopi mengisi jeda diantara pemaparannya.
“Adapun adanya pendidikan yang bertujuan untuk menghilangkan kebodohan itu sejatinya bukan untuk menghilangkan kebodohan melainkan menyeibangi dan melebihkan kepintaran atas kebodohan tersebut. Laiknya hawa nafsu yang tidak akan pernah bisa hilang dari diri seseorang. Namun yang bisa dilakukan seseorang ialah mengontrol hawa nafsu.”
“Hoalah, gitu ya Jendral”,
“masuk pak eko, eh…. Wak Ngari”, Sahut yang lain.
Suara benturan paping menandakan jama’ah baru saja selesai. Bersama itu pula majelis yang sedang dibawakan oleh Jendral Lokal itu pun hening seketika. Saat aku hendak menyeruput kopi ternyata sudah tinggal ampasnya saja. Sambil melambaikan tangan doi berkata “Suwun yo Cak heuheu……”
Komentar
Posting Komentar